Keempat, eksosistem pendidikan yang baik memberikan ruang kontrol yang kuat secara berjenjang (dari gubernur, bupati/wali kota, dan kepala dinas pendidikan di semua tingkatan).
Yang paling penting juga soal dukungan orang tua. Karena itu, demokratisasi di sekolah harus dibangun.
Pihak dinas pendidikan tidak boleh menjadi pihak yang mau mengatur segalanya. Pihak sekolah juga tidak harus membeo untuk berbagai kebijakan dinas terkait.
Baca Juga: China Dibanjiri Hujan Cacing, Warga Diminta Cari Tempat Berlindung
Orang tua perlu dilibatkan dalam berbagai proses pengambilan keputusan yang berdampak terhadap kepentingan peserta didik.
Kelima, untuk mengasilkan lulusan yang bermutu, pemerintah mesti berani mengembangkan boarding school (sekolah berasrama).
Niat pemerintah untuk menjadikan 2 sekolah di Kota Kupang sebagai pilot project itu harus ditunjang dengan manajemen boarding school.
Contoh pembelajaran berbasis boarding school seperti di seminari dan pesantren harus ditindaklanjuti dengan kajian-kajian dan diskusi ilmiah.
Mesti ada ruang pendekatan scientific untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan pendidikan.
Tidak boleh hanya karena dorongan yang sekejap, tiba-tiba, serta-merta tanpa memperhitungkan blue print pendidikan.
Kebijakan sekolah jam 5 pagi, yang kemudian direvisi menjadi 5.30 pagi tetaplah menjadi bola panas di kalangan masyarakat NTT. Ada pro dan kontra. Ada eksplanasi dan klarifikasi.
Apapun narasi yang terbangun dalam kaitannya dengan itu, bagi saya kebijakan sekolah jam 5 pagi tetaplah layak untuk dipertanyakan bahkan digugat dari sisi kewajaran dan kewarasan. ***
Artikel Terkait
Kebijakan Masuk Sekolah Jam 5 Pagi Tidak Berperspektif Anak, Ketua LPA NTT : Kami Tolak
Lepas Atlet Popda VI NTT 2023, Ini Pesan Wakil Bupati TTU
Rektor Udayana Jadi Tersangka
BPK Belum Beri Kabar Soal Kasus Bank NTT, Ini Yang Harus Dilakukan Jaksa